Sahabat, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sedang sakit keras, beliau pernah berdialog dengan malaikat Jibril. Begini isi percakapannya:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bertanya, “Wahai Jibril, katakan padaku apa hakku di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?”
Malaikat Jibril menjawab, “Wahai Rasulullah, pintu-pintu langit akan terbuka dan para malaikat sudah menantikanmu di sana. Semua pintu surga telah terbuka lebar menantikan kedatanganmu.”
Meskipun mendengar kabar gembira dari Malaikat Jibril, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam masih terlihat cemas.
Melihat kecemasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, Malaikat Jibril bertanya, “Mengapa engkau masih cemas seperti itu? Apakah engkau tidak bahagia mendengar kabar ini, ya Rasulullah?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam kembali bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, bagaimana nasib umatku kelak?”
Malaikat Jibril menjawab, “Jangan khawatirkan nasib umatmu, ya Rasulullah.
Aku mendengar Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepadaku: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi selain umat Muhammad, hanya umatmu yang berhak memasukinya.'”
Sampai ketika puncak rasa sakitnya sakaratul maut, beliau masih sempet berdoa untuk keselamatan umatnya. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini. Timpakan saja semua siksa maut rasa sakit ini kepadaku.
Jangan timpakan kepada umatku.” Ternyata sebegitu perhatiannya Rasul kita dengan umatnya.
Nah, sekarang pertanyaannya bagaimana kalau dibalik? Seberapa besar perhatian kita terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam?
Seberapa sering kita mengikuti keteladannnya? Sudahkah mencotoh prilakunya, dari hal kecil saja contohnya sifat makan dan minumnya beliau?
Contoh kecil dari pola makan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, yang kalau dijadikan kebiasaan bukan hanya mendapatkan pahala sunnahnya saja, tapi banyak manfaat untuk kesehatan jiwa, kebugaran tubuh dan kesemangatan ibadah.
Misalnya, meneladani soal porsi makan sesuai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pernah menganjurkan seberapa porsi makan yang ideal. Menurut beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassallam perut diisi 3 bagian.
Diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib, dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
ما ملأَ آدميٌّ وعاءً شرًّا مِن بطنٍ ، بحسبِ ابنِ آدمَ أُكُلاتٌ يُقمنَ صُلبَهُ ، فإن كانَ لا محالةَ فثُلثٌ لطعامِهِ وثُلثٌ لشرابِهِ وثُلثٌ لنفَسِهِ
“Tidaklah manusia memenuhi tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun, jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.” (HR. Tirmidzi)
Ibnul Qayyim menerangkan cara makan tersebut merupakan salah satu hal yang paling bermanfaat bagi tubuh dan hati.
Karena kalo perut kenyang sama makanan, maka si perut akan butuh minuman, dan jika menerima banyak minuman, maka porsi udara akan berkurang.
Jadinya. pas dalem kondisi kekenyangan seseorang biasanya akan merasa engap dan kelelahan karena seperti membawa beban yang berat. Bener kan gitu rasanya?
Kata Ibnul Qayyim, “Hal tersebut (kekenyangan) mengakibatkan rusaknya hati dan malasnya anggota tubuh sehingga mencegah diri melakukan ketaatan dan membawanya pada hawa nafsu yang menuntut terpenuhinya rasa kenyang sehingga perut terisi dengan makanan berbahaya bagi hati dan tubuh.”
Dari hadits itu juga kita tahu kalo makan dengan rakus itu memiliki kaitan yang erat dengan penyakit.
Maka udah sepatutnya sebagai seorang muslim untuk mengatur sebaik mungkin dalam mengonsumsi makanan, agar tidak menimbulkan penyakit buat dirinya.
Baca Juga: Seriusan Madu Bermanfaat untuk Mengatasi Mata Minus?
Kedudukan Makanan dalam Islam
Ibnul Qayyim pernah menjelaskan juga tentang kedudukan makanan. Menurutnya kedudukan makanan itu ada tiga, yakni mengambil makanan sebanyak yang diinginkan.
Kedua mengambil makanan melewati batas cukup tetapi tidak sampai merugikan dan yang ketiga adalah mengambil lebih banyak dari itu. Intinya, kedudukan makanan ini adalah keinginan, kecukupan dan keutamaan.
Maksudnya adalah sepertiga berisi makanan, sepertiga berisi minuman dan sepertiga lagi udara atau nafas. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengatakan bahwa porsi makan ini yang mendatangkan manfaat untuk tubuh dan hati.
Dalam hal kenyang pernah ada kisah tentang seseorang yang pernah minum susu sampai kenyang di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Ia adalah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Dia berkali-kali menenggak susu sampai kekenyangan, karenanya kenyang terkadang diperbolehkan. Yang menjadi masalah adalah ketika kekenyangan yang dapat mengganggu ibadah dan kesehatan.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan, “Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.”
Bahkan kekenyangan hukumnya bisa menjadi haram, Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang membuat penuh perut dan membuat orangnya berat untuk melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur dan malas.
Bisa jadi hukumnya berubah dari makruh menjadi haram sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan (misalnya membahayakan kesehatan)”
Hendaknya setiap muslim menghindari cara makan yang berlebihan, karena kita di bumi ini makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Jadi kalau butuh kenyang, ya seperlunya saja.
Misalnya kita makan kenyang karena butuh energi untuk aktivitas fisik dan kerja yang berat. Kalau butuh kalorinya cuma sedikit, ya kuantitasnya dikurangi, atau dengan makan yang cukup tapi nutrisinya berkualitas.
Supaya jangan sampai, belum makan lemes, habis makan ngantuk. Kapan mau semangat ibadahnya kalau gitu, ya kan?!